Bimbingan Rohani

Bimbingan Rohani Bagaikan Bejana Kehidupan


Bagi saya, bimbingan rohani itu seperti bejana yang memberi ruang suci untuk lebih merasakan kehadiran Allah dan kasih-Nya dan untuk menyadari keilahian serta keterbatasan kemanusiaan bagi yang terbimbing maupun yang membimbing.

Sarasvita FCJ Center

Suatu pagi, usai perayaan Ekaristi Fajar di Sarasvita FCJ Center, seorang perempuan hampir separuh baya menemui saya untuk bimbingan rohani.  Dia membagikan pengalaman rohaninya mengenai Ekaristi ini. Ia tersentuh pada bacaan pertama, kisah seorang murid perempuan, Tabita, yang telah mati dan oleh kuasa Allah hidup kembali melalui Petrus.  Ia juga merasa dibangkitkan setelah bertahun-tahun terpenjara oleh pengalaman kecewa akan situasi keluarga.  Ia tersadar betapa hidupnya terberkati.  Ia melihat lebih jelas bagaimana Allah membangkitkan jiwanya.

Ketika ia menceritakan pengalaman berkat itu, tiba-tiba airmatanya tak terbendungkan lagi mengalir membasahi pipinya.  Saya terharu menyaksikan hatinya tergerak oleh kasih Allah yang luar biasa.  Tidak disangka, seseorang yang awalnya saya kenal sebagai seorang yang jarang berdoa, cerdas sehingga lebih mengandalkan pikiran rasionalnya, dalam perjalanan waktu, mampu melepaskan pikiran-pikiran yang membelenggunya.  Beginilah salah satu keindahan menjadi pembimbing rohani. 

Gambaran Bimbingan Rohani

Suatu hari, supervisor yang mendampingi saya dalam layanan bimbingan rohani, meminta saya untuk merefleksikan bimbingan rohani.  Saya bersyukur atas buah-buah refleksi yang diperoleh, yang mempertajam penghayatan akan makna pelayanan ini.  Bagi saya, bimbingan rohani itu seperti bejana, yang memberi ruang suci untuk lebih merasakan kehadiran Allah dan kasih-Nya, dan untuk menyadari keilahian serta keterbatasan kemanusiaan bagi yang terbimbing maupun pembimbing.  Bimbingan rohani itu juga seperti panduan (guidance) untuk berhubungan lebih akrab dengan Sang Sumber Kehidupan kita dan selaras dengan-Nya.  Selain itu, bimbingan rohani seperti kompas untuk mengetahui lebih jernih arah tujuan hidup menuju ke kebebasan batin.

Memang ada beberapa hal penting yang perlu dimiliki pembimbing untuk menciptakan bimbingan seperti yang digambarkan di atas.  Lewat artikel ini, saya akan membagikan pengalaman dan pengetahuan, lebih-lebih sejak diutus kembali ke Indonesia pada Juli 2020 dan berprofesi menjadi pembimbing rohani atau pembimbing retret di Sarasvita FCJ Center.  Di Pusat Spiritualitas dan Pengembangan Pribadi ini, saya telah menemani, secara online ataupun tatap muka, berbagai macam pribadi, termasuk awam yang bekerja, mahasiswa, biarawati dan rohaniwan, umat Kristen Protestan termasuk pendeta, umat Muslim dan yang mengaku ateis.  Saya juga menemani mereka yang berasal dari berbagai kebangsaan termasuk dari Asia dan Amerika Utara.  Berikut adalah buah-buah refleksinya.

Mendengarkan Secara Mendalam

Tiga minggu yang lalu, seorang perempuan berusia tiga puluhan datang.  Saya telah mendampinginya beberapa bulan dan sedang discernment dalam pengambilan keputusan pilihan hidupnya. “Sus, jangan kecewa ya. Saya tidak mau jadi suster!” ungkapnya di awal pembicaraan. Kelihatannya, ia telah terkondisikan bertumbuh dengan gambaran diri bahwa seseorang yang ‘baik’ itu adalah yang mampu meyenangkan orang lain.  Saya mengajak dia untuk masuk lebih dalam, “Coba berfokus pada diri sendiri.  Bila kamu membayangkan kehidupan suster, apa sih kerinduanmu yang terdalam, yang terpenuhi bila menjadi suster?”  Melalui pertanyaan ini, ia perlahan-lahan masuk ke alam batinnya, tidak terbelenggu ketakutan mengecewakan orang lain.  Sebagai pembimbing, kepekaan akan suasana batin yang dibimbing sangat penting disertai kemampuan untuk memperhatikan, membedakan, dan memfokuskan pembicaraan ke arah spiritual. 

Menghormati Batasan Interpersonal yang Sehat

Tiga bulan lalu, seorang perempuan muda (27 tahun) menemui saya untuk pertama kalinya.  Ia mengawali pembicaraan dengan menceritakan kehidupan rohaninya termasuk kebiasaan mendapat bimbingan rohani sejak kuliah.  Di awal memasuki dunia kerja, ia bersyukur mendapat pembimbing baru yang penuh dukungan dan perhatian.  Satu hari, ia diajak oleh pembimbing rohaninya jalan-jalan bertiga bersama teman dekatnya.  Ia menerima ajakan itu dengan senang hati.  Menjelang keberangkatan, temannya membatalkan kepergiannya dan meninggalkan mereka berdua saja yang pergi.  Tiba-tiba, ia menangis tidak sanggup lagi meneruskan ceritanya.  Kami terdiam.  Saya membiarkannya bersama dengan kesedihannya hingga ia merasa nyaman untuk melanjutkan ceritanya.  Singkat cerita, dalam jalan-jalan itu, pembimbing rohaninya mulai bersikap berbeda bukan lagi sebagai pendamping tetapi seperti seorang laki-laki yang ingin berelasi lebih intim.  “Suster, saya bingung … takut…” ungkapnya, “syukurlah, saya berani menolak, walau ada rasa salah setelah itu.  Dan sekarang saya telah memutuskan untuk tidak menemuinya lagi.”  

Dari peristiwa ini, nampak jelas bahwa pembimbing rohani ini telah melanggar batasan relasi yang sehat.  Sadar atau tidak sadar, pembimbing ini telah menggunakan otoritasnyauntuk memenuhi kebutuhan pribadinya.  Sangatlah penting membangun batasan relasi yang sehat, dengan menghindari hubungan ganda.  Sebagai pembimbing, saya sering diundang oleh yang terbimbing untuk keluar, makan malam, atau diberi hadiah-hadiah.  Saya juga sering menerima tawaran untuk berlibur atau berziarah bersama.  Saya sangat menghargai kebaikan mereka, yang adalah tanda penghargaan kepada pelayanan saya.  Namuni, kembali pada prinsip pelayanan profesional yang menghormati etika bimbingan rohani dan berfokus hanya pada pendampingan perjalanan rohani yang terbimbing demi perlindungan akan integritas pembimbing dan yang terbimbing.

Mengakui Keterbatasan Diri

Telah lebih dari satu tahun, saya mendampingi perempuan muda berusia dua puluhan yang berproses  dalam pemilihan panggilan hidupnya.  Di pertengahan tahun 2021, ia mampu melihat dengan jelas bahwa panggilan hidupnya adalah menjadi suster.  Proses diskresiberlanjut pada pemilihan kongregasi yang terbaik baginya.  Saya mendorong untuk mengenal beberapa kongregasi, tentu saja termasuk FCJ. 

Sebulan yang lalu, di awal pertemuan, dengan mata berbinar-binar, ia mengungkapkan bahwa ia telah memilih kongregasi yang terbaik.  Hati saya berdebar-debar… menantinya menyebut nama kongregasi yang ia pilih.  Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya ia menyebutkan nama kongregasi itu.  Hati saya sedih dan kecewa, ternyata ia tidak memilih FCJ.  Sisa waktu bimbingan 30 menit, bagi saya, terasa tidak nyaman, dipenuhi rasa kecewa.  Namun, suara batin menyadarkan diri bahwa peran saya saat itu sebagai pembimbing rohani bukan sebagai promotor panggilan.  Ya, sebagai pembimbing, kita perlu mengakui keterbatasan diri termasuk ‘agenda’ pribadi, asumsi dan bias apalagi ketika asumsi atau agenda pribadi ini menghalangi arah spiritual.

Menjaga Kerahasiaan

Sudah beberapa kali saya menerima kekecewaan yang terbimbing terhadap para pembimbing yang tanpa sadar, kadang spontan, menceritakan hidup pribadi mereka kepada orang-orang dekat, seperti kepada orangtua mereka, atau kepada pemimpin komunitas atau formator, atau bahkan menjadi bahan guyonan.  Memang hal itu sangat mengecewakan sekaligus memprihatinkan.   Menciptakan suasana aman dan nyaman bagi yang terbimbing sangatlah penting.  Sebagai pembimbing, di awal pertemuan, ada beberapa hal disampaikan kepada yang terbimbing untuk disepakati atau diketahui, salah satunya adalah menjaga kerahasiaan.  Kepada karyawan Sarasvita FCJ Center, selalu diingatkan untuk menghormati pribadi-pribadi yang datang untuk konseling, bimbingan rohani atau retret dengan tidak menyebut nama mereka atau menceritakan kehadiran mereka kepada siapa pun di luar kompleks Sarasvita termasuk keluarga.  Menjaga kerahasiaan adalah unsur penting menciptakan kepercayaan dalam pelayanan ini.

Self-care, Self-love dan Self-growth

Di awal, telah disampaikan bahwa bimbingan rohani itu seperti bejana yang memberikan ruang suci bagi yang terbimbing untuk semakin berelasi dekat dengan Yang Ilahi.  Untuk mampu menciptakan atmosfer nyaman dan suci ini, sebagai pembimbing, diperlukan kemampuan untuk terus ‘mengosongkan’ diri, menjadikan diri sebagai tempat yang sehat dan penuh cinta, gembira dan hidup, serta sebagai tanda sakramen kasih Allah yang sejati. 

Saya termasuk golongan orang yang mudah jatuh pada kecanduan kerja dan mengabaikan kebutuhan diri hidup seimbang dan utuh secara fisik, mental dan spiritual.  Pengalaman burnt out, pengalaman merasa lelah total fisik dan emosi, di saat studi di Manila, membuat saya berdisiplin diri menciptakan hidup sehat dan seimbang.  Sejak saat itu, setiap pagi sejak bangun hingga berangkat kerja adalah me time saya, yang sekarang di antaranya diisi dengan: journaling, membaca buku-buku yang menginspirasi, jalan pagi sebelum matahari terbit, dan doa pribadi.  Pemeriksaan batin dan pendalaman kesadaran diri serta pengolahan diri akan memori luka masa lalu, diperlukan untuk mencintai diri (self-love) dan bertumbuh (self-growth).  Latihan rohani ini mempertajam kepekaan akan gerak-gerak batin.

Setiap bulan, saya pergi ke tempat favorit, yaitu pantai atau bukit, untuk berhubungan dekat dengan alam, khususnya mengagumi keajaiban alam di saat matahari terbit.  Berada di alam, memampukan saya melepaskan segala pikiran dan emosi tidak nyaman serta energi negatif kepada semesta.  Alam membuat pikiran istirahat, intuisi tajam dan membuat jiwa semakin berada di saat ini, makin gembira, spontan, ceria (playful), dan kreatif.  Saya bersyukur tinggal di Yogyakarta, sehingga kedua tempat yang terapeutik di atas, dapat saya tempuh sekitar satu jam dengan sepeda rmotor!  Saya juga bersyukur, setiap bulan mendapat supervisi bimbingan rohani, agar semakin sadar akan sisi ‘gelap’ dan juga sisi ‘terang’, yang tanpa sadar muncul dalam proses bimbingan, sehingga terus bertumbuh, berjiwa lepas bebas.  Kegiatan penting lainnya, tentu saja adalah menemui pembimbing rohani saya sendiri secara rutin.

“Sus, kapan kita ketemu ya?” tulis seorang bimbingan di pesan WhatsApp-nya.  “Sus, apakah bisa bimbingan malam hari… setelah pulang kantor?” lanjutnya.  “Maaf, Bu, saya hanya memberi bimbingan antara jam 07.00-16.00,” begitulah tanggapan saya.  Saya teringat anjuran seorang suster FCJ, agar tidak melakukan bimbingan di malam hari, untuk menghindari kemugkinan terjadinya salah paham atau konflik.  Anjuran ini benar sekali.  Saya menyadari, pada malam hari, alam kesadaran saya sudah menurun, daya konsentrasi atau fokus perhatian pada hal yang serius dan penting semakin melemah.  Memberi batasan waktu pelayanan adalah juga salah satu ungkapan self-care demi pelayanan yang berkualitas.

Bimbingan Rohani sebagai Pelayanan Profesional

Bimbingan rohani telah tumbuh sebagai pelayanan professional, tidak hanya di kalangan Kristen, tetapi juga di kalangan agama lain.  Beberapa pusat spiritualitas menyediakan kursus bimbingan rohani untuk menyiapkan mereka, termasuk awam, menjadi pembimbing profesional.  Pada September 2019, saya mengikuti kursus Bimbingan Rohani yang diselenggarakan oleh FCJ Christian Life Center di Calgary, Kanada, dengan tujuan: menjadi profesional dan bersertifikat.  Kursus ini melingkupi teori dan praktek bimbingan rohani, macam-macam spiritualitas dan kepribadian manusia, self-care, kode etik, dan supervisi.  Peserta kursus ini dari berbagai latar belakang kebangsaan, termasuk China dan Amerika Latin, dan dari berbagai denominasi termasuk Kristen China.  Semua peserta adalah awam dan hanya saya saja yang biarawati!  

Sejak pertengahan tahun 2020, saya menjadi anggota organisasi bimbingan rohani internasional, bernama ‘Spiritual Directors International’ (SDI), yang pusatnya di Washington, USA.  Ada banyak keuntungan menjadi anggota SDI, termasuk akses pada kursus atau webinar online di seputar bimbingan rohani, seperti mistikus Kristiani dan model bimbingan rohani mereka, interpretasi mimpi, enneagram, dan lain-lain.  Bila tertarik ingin mengenal SDI lebih dekat, silakan mengunjungi websitenya: www.sdicompanions.org

Proses Seumur Hidup

Becoming a spiritual director is a lifelong process. (artinya: Menjadi pembimbing rohani adalah suatu proses seumur hidup),” demikianlah yang dikatakan oleh William A. Barry dan William J. Connolly dalam bukunya “The Practice of Spiritual Direction” (artinya: Praktek Bimbingan Rohani). Memang benar, sebagai pembimbing rohani kita dipanggil untuk terus bertumbuh dalam segala hal, termasuk dalam  pengertian hidup dan kebijaksanaannya, juga dalam terang dan kegelapan, agar pendampingan kita semakin mengarahkan yang terdamping mendekat pada Sang Ilahi.  Memang baiklah kita terus belajar hingga akhir hidup. 

Ada cerita, yang bisa jadi sebuah legenda, tentang St. Theresa dari Avila. Suatu hari iblis menampakkan diri kepadanya, menyamar sebagai Kristus. Theresa tidak tertipu sedetik pun. Iia segera mengusirnya. Namun, sebelum pergi, iblis bertanya kepadanya: “Bagaimana kamu tahu? Bagaimana bisa begitu yakin kalau saya bukan Kristus?”

Jawabnya: “Kamu tidak memiliki luka apapun! Kristus memiliki luka.”  H

arapan saya, seperti St. Theresa Avila, kita sebagai pembimbing rohani maupun sebagai yang terbimbing, makin peka, makin jernih dan jelas mengenal kehadiran Yang Ilahi dan makin mampu menolak ‘tipuan’ kegelapan menuju kebebasan batin yang sejati, kedamaian dan kegembiraan yang abadi, dalam peziarahan di dunia ini.

Tulisan ini pernah ditayangkan dalam Majalah Rohani No. 06. Tahun ke-69 Juni 2022

Agnes Samosir FCJ│Pembimbing rohani di Sarasvita FCJ Center dan anggota ‘Spiritual Directors International’ (Perkumpulan Pembimbing Rohani Internasional)

Copyright 2016 © InEvent. All rights reserved. Made withby InwaveThemes