Jun
Oleh Agnes Samosir FCJ – Koordinator Program di FCJ Sarasvita Center
Hidup di dunia dipenuhi pengalaman jatuh dan bangun. Tantangan hadir mengundang kita untuk bertumbuh. Namun, keterbatasan kita sebagai manusia tanpa disadari membuat kita menjadi stress, mudah cemas atau putus asa dalam menghadapi tantangan. Bila berkepanjangan, stress menyebabkan daya tahan tubuh rendah, membuat bagian-bagian di tubuh kita terganggu, termasuk jantung, ginjal, perut atau otak kita sendiri.
Paus Fransiskus, dalam Dokumen Gaudete et Exsultate, memanggil kita ke arah kekudusan. Salah satu ciri kekudusan dalam masa sekarang ini adalah sukacita dan humor. Dalam dokumennya ini, Paus mengatakan, “Para kudus mampu hidup dengan sukacita dan rasa humor. Tanpa lari dari kenyataan, mereka memancarkan semangat positif dan kaya akan pengharapan bagi sesama. Menjadi orang kristen adalah “sukacita dalam Roh” (Rom 14:17), sebab “cinta kasih seharusnya diikuti sukacita. Karena siapa yang mengasihi selalu menikmati kesatuan dengan yang dikasihi …Maka kasih diikuti sukacita.” (GE 122)
Bagaimana caranya agar kita tetap memancarkan semangat positif, suka cita dan rasa humor, tanpa lari dari tantangan hidup? Berikut adalah sharing pengalaman dan pengetahuan hidup yang menunjukkan betapa tertawa itu bisa membawa keajaiban, lebih-lebih di tengah badai yang menerpa.
Tawa Membawa Keajaiban
Pada suatu hari, dua suster misionaris sedang berziarah ke Sendangsono. Peziarahan mereka dimulai dari Slanden menuju Gereja Promasan. Perjalanan ini cukup menantang. Hanya sedikit daerah yang menurun. Selebihnya menanjak hingga Gereja Promasan. Setiba di Gereja Promasan, mereka berhenti sejenak. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Gua Maria, mereka pergi kamar kecil. Suster A, yang lebih muda dan baru belajar Bahasa Indonesia, bertanya pada rekannya, Suster B, yang lebih lama tinggal di Indonesia. Katanya, “which room is for us: ‘Putra’atau ‘Putri’?” Yang maksudnya kamar kecil mana untuk mereka, yang bertuliskan ‘Putra’ atau bertuliskan ‘Putri’.
Suster B juga bingung dan tidak bisa menjawab, berhubung pengetahuan Indonesianya terbatas. Beberapa menit kemudian, ada seorang bapak tua berjalan melalui mereka. Sambil memikirkan kosa kata Indonesia yang tepat serta menyusun kalimat sesuai dengan struktur bahasa yang benar, Suster B mendekati bapak itu. Dengan penuh kepercayaan diri, Suster B menyapa, “Permisi, Pak,” sambil menempatkan tangan kanan ke dadanya, ia bertanya, “Saya, putra atau putri?” Wajah bapak itu kelihatan bingung. Suster B mengulangi lagi pertanyaannya, “Saya, putra atau putri?” Bapak itu diam sejenak… Sambil mengarahkan telunjuknya ke Suster B, ia berkata “You … are … a… woman!” Langsung, setelah itu, sang bapak pergi meninggalkan mereka.
Kedua misionaris ini terkejut terdiam menerima jawaban yang tak diduga itu. Tak lama kemudian, mereka tertawa terbahak-bahak. Akhirnya, Suster B berkata dengan penuh keyakinan, “I know now. We go to the ‘putri’. (Saya tahu sekarang. Kita pergi ke kamar kecil bertuliskan “putri”.) Are you sure?” tanya Suster A. “Yes,” jawab rekannya.
“How do you know?”, tanyanya lagi. Spontan sambil membuat tanda salib dengan penuh hormat, Suster B berkata , “Dalam nama Bapa dan Pu – te – RA!”
Walau sering diceritakan berulang-ulang, kisah ini menyegarkan jiwa dan terus terasa hangat dalam benak saya. Dalam situasi penuh tantangan berada di negeri asing, dengan pengetahuan bahasa lokal yang terbatas, mereka menanggapi jawaban bapak itu dengan tawa. Dengan tertawa, suster itu menerima dengan rendah hati kebenaran akan kesalahannya. Bapak itu menjawab dengan jujur dan tepat, sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Dengan tertawa kedua suster ini menyambut jawaban yang mengejutkan ini. Sebenarnya, mereka menantikan jawaban dalam Indonesia dengan satu kata: ‘putra’ atau ‘putri’. Tak disangka, jawaban bapak itu berbeda 180 derajat!
Karena tawa, sadar tidak sadar, terjadilah peralihan pandangan. Jawaban bapak ini membawa mereka ke perspektif yang berbeda, ke dimensi yang melampaui ruang dan waktu. Keberadaan pada dimensi yang berbeda ini menggetarkan otak kanan Suster B menangkap sinyal-sinyal ide kreatif dan inspiratif yang membuatnya menemukan solusi yang sederhana namun cemerlang! Di balik tawa ada keajaiban tersendiri. Cerita jenaka ini menginspirasikan saya untuk tertawa, berhati ringan dan riang dalam menghadapi hidup.
Tawa itu Menyehatkan
Pada tahun 2009, setelah mengalami honey moon beberapa bulan pertama di tanah misi baru di Myanmar, saya mulai mengalami kesepian dan kekeringan. Saat itu situasi politik negara ini cukup tegang. Sebagai orang asing, gerak-gerik saya sering diamati oleh mata-mata pemerintah. Setiap dua minggu sekali, kami harus melapor ke pemerintah lokal, dan setiap 70 hari kami harus keluar Myanmar untuk memperbaharui visa. Rasa marah dan frustrasi muncul karena kebebasan bergerak terbatas dan kebebasan berkomunikasi dengan dunia luar terputus.
Saya merasa down. Saya mudah tersinggung dan marah. Kekebalan tubuh menurun sehingga sering sakit kepala. Saat bepergian, saya mudah sakit perut setelah makan makanan asing khususnya yang segar dan tidak dimasak. Rasa frustasi yang bercampur ketakutan, juga kebingungan bercampur pemberontakan membuat saya sakit migran dan vertigo.
Di suatu pagi, saat hening, ada suara mengatakan, “sudah cukup!”. Suara itu terdengar jelas dan memanggil saya untuk berbuat sesuatu di saat desolasi. Sudah saatnya untuk menerima keadaan apa adanya. Tidak menyalahkan orang lain, tidak mengutuk budaya atau bahasa asing. Suara ini terus bergema sehingga membuat mata saya terperangkap oleh buku berjudul “Laugh For No Reason (Terapi Tawa)” oleh Dr. Madan Kataria, pendiri Gerakan Klub Tawa, yang berdiri di salah satu rak buku di suatu toko buku.
Lewat buku ini, saya terinspirasi membangun kebiasaan tertawa setiap hari selama lima menit tanpa sebab. Usai mengajar Bahasa Inggris di Campion Institute, seperti biasa dalam perjalanan pulang, saya melintasipohon-pohon tua di sepanjang Jalan Universitas dekat Universitas Yangon. Sambil berjalan, saya keluarkan hand phone saya, saya dekatkan ke telinga saya. Saya mulai tertawa kecil berakting seolah-olah lewat telepon, saya sedang mendengar cerita lucu dari lawan bicara saya. Lambat laun saya tertawa terbahak-bahak, sedemikian rupa hingga perut saya ikut tertawa (belly laughter).
Ternyata, setelah rutin melakukan latihan tawa tanpa sebab ini, stress saya berkurang dan kekebalan tubuh saya bertambah. Hingga saat ini, rasa sakit termasuk karena vertigo dan migran hilang. Saya jarang sekali sakit kepala atau flu. Neurosains mengungkapkan bahwa tertawa dengan atau tanpa alasan memberi energi positif pada tubuh kita. Tertawa merangsang produksi hormon endorfin dan membantu tubuh meningkatkan kadar hormon dopamin dan serotonin. Hormon-hormon ini menormalkan tekanan darah dan mengurangi produksi hormon yang berkaitan dengan stres, termasuk hormon kortisol. Ketiga hormon, yang dikenal juga sebagai hormon ‘bahagia’ ini, membantu meningkatkan suasana hati yang menyenangkan, merasa puas, bersemangat dan meningkatkan kekebalan tubuh. Benar bahwa tawa membuat pikiran rileks dan hati bersemangat. Saya lebih positif dalam melihat hidup, bertanggung jawab atas apa yang terjadi, termasuk emosi atau perasaan yang muncul. Terasa meningkat kemampuan saya untuk berfokus pada solusi daripada masalah. Ide-ide kreatif bermunculan dan ada energi untuk menjadikan ide-ide itu tertuang dalam kenyataan hidup. Dengan tertawa didukung dengan bermeditasi, mengolah batin dan berhubungan dengan alam, peziarahan hidup misionaris di Myanmar dapat saya jalani selama sepuluh tahun dengan damai dan riang hati.
Tertawa itu Membentuk Persaudaraan
Ketika ada perbedaan pandangan dalam bekerja sama, tertawa mencairkan suasana tegang. Tertawa membuat jiwa bersikap positif dan berhati ringan, memampukan diri untuk beralih pandang, memfokuskan diri pada solusi daripada masalah. Permainan untuk memenuhi kebutuhan menang atau kebutuhan paling benar sudah tidak banyak pengaruhnya lagi. Suasana tegang dicairkan oleh intensi hati yang murni untuk kebaikan bersama (care for the whole). Rasa aman tercipta, mengijinkan kerapuhan hati muncul di permukaan, menggetarkan jiwa untuk berbelas kasih, merekatkan persaudaraan sejati.
Tertawa itu Menular
Beberapa tahun lalu, seorang tenaga sukarela dari Australia menginap di Susteran kami. Beliau mengajar Bahasa Inggris di salah satu universitas di Yogyakarta. Di suatu hari, di saat sarapan, ada suatu percakapan yang membuat saya tertawa lepas. Tiba-tiba, ia muncul dari kamar tidurnya yang kebetulan dekat dengan ruang makan. Dengan tersenyum, ia mengatakan bahwa ia senang dengan tawa saya. Katanya, tawa saya menular, membuatnya bangun dengan gembira. Spontan, ia meminta saya untuk merekam tawa saya. Saya cukup kaget dan menanyakan kegunaan rekaman itu. Katanya, tawa saya bagus untuk dijadikan alarm. Sudah seringkali saya mendengar pujian semacam ini. Saya bersyukur karena rupanya tawa saya menularkan energi positif pada orang lain, mengundang mulut melebar dan tersenyum, mencerahkan wajah, meringankan hati dan menyegarkan jiwa.
Marilah tertawa setiap hari. Badai kehidupan takkan pernah pergi dari kehidupan kita. Kata Joan Rivers, artis dan pelawak Amerika Serikat, “Hidup ini sangat sulit. Jika kamu tidak tertawa, itu sulit.” Tawa dapat memberi energi hidup dan membangun daya tahan dalam mengarungi bahtera kehidupan. Kita tetap bisa tertawa walau badai datang. Bahkan di tengah-tengah tsunami kehidupan, tertawa memampukan kita untuk cerdik seperti ular dan halus seperti merpati. Mari kita menyambut panggilan Paus Fransiskus menuju kekudusan dengan penuh kepercayaan diri, antusias dan harapan. Mari menciptakan energi tawa setiap hari!
Tulisan ini dipublikasikan pada Majalah Rohani No.04, Tahun ke-19, April 2022