Sarasvita.com – Namaku Karolina, dipanggil Lina. Saya lahir dan besar di Ende, orang tua asal Lembata, sekolah di SMK Negeri I Ende jurusan Managemen Bisnis. Selepas SMK saya tidak langsung masuk biara melainkan bekerja dulu di klinik seorang dokter di Jakarta, tepatnya di daerah Menteng, Paroki St. Theresia. Di tempat inilah benih panggilan saya mulai menampakkan kekuatannya.
Sesungguhnya benih panggilan sudah mulai ditanamkan Tuhan sejak saya masih TK. Waktu itu ketika berusia sekitar 5 tahun, saya sudah bercita-cita menjadi suster. Saya senang sekali melihat sosok suster dengan jubahnya yang putih bersih itu. Mama menjahitkan “baju suster” untukku, setelan blus putih dan rok biru, yang kukenakan dengan bangga ke sana-ke mari. Saya masih menyimpan kostum tersebut sampai saat ini.
Lalu ketika liburan sekolah, saya pergi ke Lembata. Di sana, saya melihat para suster dari sebuah kongregasi pergi ke kampung-kampung pada musim kering, membantu masyarakat dengan bahan pangan karena ladang tak menghasilkan panenan. Makin kuatlah keinginan saya menjadi suster agar dapat membantu orang miskin seperti para suster itu.
Masa remaja di Ende, yang juga diwarnai dengan mengenal lawan jenis, membuat benih panggilan meredup. Namun sesungguhnya ia tidak benar-benar padam. Ia tersembunyi dalam kegembiraan masa mudaku. Selepas SMK saya ke Jakarta untuk bekerja guna membantu keluarga.
Dokter tempat saya bekerja adalah seorang Katolik yang saleh, yang sering membawakan buletin paroki Theresia. Melalui buletin itulah saya mengenal para imam Yesuit dan karya-karyanya. Saya juga terkesan dengan sikap para romo di paroki, yang seusai misa, berdiri di halaman gereja guna menyapa dan menyalami umat. Nuansa gereja St. Theresia berbeda dengan gereja-gereja lainnya. Para imam di Gereja St. Theresia menumbuhkan ketertarikan saya pada hidup membiara. Buku kenangan 100 tahun Serikat Yesus di Indonesia semakin menebarkan pesona dalam hatiku. Buku tersebut antara lain berisi kisah romo-romo Yesuit awal di Indonesia. Saya mulai berfikir, adakah kongregasi Ignasian untuk perempuan?
Pada hari minggu panggilan, di gereja St. Theresia juga, saya mencoba mendekati beberapa kongregasi yang hadir. Namun saya merasa “belum pas”. “Belum ada chemistry” istilah populer saat ini. Ada yang saya dambakan namun belum kujumpa.
Setelah sepuluh tahun di Jakarta, saya memutuskan pulang kampung untuk mulai menimbang panggilan saya. Tanggal 3 Mei 2012 saya mendarat di Ende. Langsung keesokan harinya saya bergegas ke Gereja St. Yosef – Onekore untuk bertemu pastor paroki untuk mencari informasi tentang berbagai kongregasi suster yang ada di Ende.
Di tempat inilah Tuhan mempertemukan saya dengan Sr. Beta FCJ. Saya yakin ini bukan pertemuan kebetulan. Tuhan menginginkan saya menjadi perempuan Ignasian – menjadi Sahabat Setia Yesus. Begitu saya tahu bahwa FCJ adalah kongregasi Ignasian, saya merasa menemukan jodoh. Saya tak berpaling ke lain hati. Bahwa mereka tidak mengenakan jubah, itu tak menjadi persoalan bagi saya. Saya ingin menjadi Sahabat Setia Yesus, itulah yang lebih mendasar. Kini Ad Maiorem Dei Gloriam (AMDG), yang artinya demi kemuliaan Allah yang lebih besar, saya coba hidupi dalam hidup sehari-hari. Saya mengucapkan kaul sementara pada tanggal 27 Mei 2017 dan saat ini diutus untuk studi di Sekolah Tinggi Ilmu Pastoral Atma Reksa (STIPAR) Ende.