Ditangkap Oleh Tuhan

Ditangkap Oleh Tuhan

Sarasvita.com – Pada mulanya adalah cita – cita. “Biarawati” kata inilah yang selalu saya tuliskan paling akhir setiap kali mengisi biodata di dalam buku kenang – kenangan di saat saya duduk kelas tiga SD!! Entah mengapa hal itu saya lakukan, meskipun saya pada saat itu tidak mempunyai gambaran mengenai seorang biarawati. Saya hanya tertarik, itu saja alasannya.

Anak keempat dari enam bersaudara, saya tidak dibesarkan secara katolik. Bapak dan ibu beragama Islam. Saya mengenal agama Katolik sedari Taman Kanak – Kanak dan dibabtis saat saya menginjak kelas tiga SD. Saya bersekolah di SD Kanisius Wirobrajan, satu – satunya sekolah terdekat di sekitar tempat saya tinggal, Kuncen Yogyakarta.

Ketika saya sekolah di SMEA, Sr. Rosalia adalah guru agama kami.  Ia seorang yang lemah lembut dan dialah yang membangunkan cita-caita saya menjadi suster.  Tidak hanya berhenti sebagai cita – cita, keterpesonaan mendorong saya untuk membuat sebuah rencana yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.

Saya ingin menjadi suster dalam konggregasi yang sama dengan Sr. Rosa. Rencana saya adalah setelah saya menyelesaikan studi di SMEA, saya akan masuk kongregasi tersebut. Kemudian rencana tersebut saya ceritakan kepada bapak namun bapak tidak berkenan. Menurut bapak, menjadi seorang suster berarti selibat, tidak menikah, dan tidak mempunyai anak. Hal ini berarti garis keturunan berhenti hanya sampai saya saja.  Hal itu malah mendorong saya untuk lebih menyempurnakan rencana dan tentu saja hal ini saya rahasiakan dari bapak. Rencana rahasia saya adalah setelah saya menyelesaikan studi di SMEA, saya akan bekerja selama dua tahun dan setelah dua tahun bekerja saya akan masuk menjadi suster. Tampak lebih sempurna, bukan?

Pada saat menjelang kelulusan, di tengah hingar – bingar antusias teman – teman saya untuk mendaftar UMPTN, saya mencari pekerjaan. Tidak lama setelah lulus, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan kontraktor bangunan. Namun malang, perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan sehingga saya dipaksa berhenti setelah bekerja selama enam bulan.  Lalu saya mendapat tawaran pekerjaan di susteran kontemplatif di Cipanas Jawa Barat.  Selama bekerja di sana, saya mulai mengenal kehidupan suster kontemplatif. Pada akhirnya saya sadar bahwa saya kurang tertarik dengan cara hidup biara kontemplatif.

Saat itu tetaplah menyala keinginan menjadi suster dalam kongregasi yang sama dengan Sr. Rosalia. Setelah setahun bekerja di Cipanas, saya memutuskan pindah ke Jakarta dengan maksud agar lebih dekat dengan Rumah Induk konggregasinya. Setiap akhir pekan saya rutin menginap di Susteran itu supaya bisa mengenal lebih dekat. Beberapa bulan kemudian saya diterima menjadi aspiran. Waktu itu sungguh saya merasa sangat bahagia. Api dalam diri saya saat itu tidak hanya membara, namun berkobar – kobar.  Apa yang terjadi sesuai dengan rencana saya yang matang dan rahasia.

Hari – hari saya jalani dengan penuh kegembiraan bersama lima orang aspiran lainnya. Saya merasa telah menemukan apa yang saya dambakan. Waktu itu saya sungguh yakin bahwa ini merupakan kehendak Tuhan. Kebahagian yang luar biasa sungguh saya rasakan, meskipun saat itu baru menjadi seorang aspiran. Lalu apa yang terjadi?

Saya merasa Tuhan main – main terhadap rencana saya. Peristiwa itu terjadi tepat dua minggu saya menjalani masa aspiran, saat saya merasa penuh dengan semangat.  Sabtu sore, saya melakukan bimbingan seperti biasanya. Tiba – tiba pembimbing aspiran berkata kepada saya,”Yustin, saya merasa bahwa kamu perlu mengolah hidup di luar dulu. Jadi lebih baik kamu pulang!”

DAR!!! Seperti petir di sore bolong. Hatiku hancur lebur. Gelap sudah dunia.

”CUT!!!” kata Sang sutradara ketika menghentikan satu adegan saat pengambilan gambar. Begitu pulalah yang dilakukan Tuhan terhadap rencana saya. Tidak ada harapan. Itulah yang saya rasakan. Seusai bimbingan saya langsung ke kapel. Menangis.  ” Tuhan, mau-Mu itu apa toh? Kamu tahu bahwa saya antusias dan yakin akan panggilan saya, melalui tanda – tanda yang Kamu berikan, bahkan semua ini sesuai dengan rencanaku. Lalu sore ini, Kamu seperti mematahkan semuanya. Apa mau-Mu?” Habislah air mata ini. Rasanya seperti dijungkirkan ke jurang sesudah diangkat ke langit.

Akhirnya saya pulang ke Yogya. Satu kutipan dari Yesaya (41:13) menyertai kepulangan saya ke Jogja, “Sebab aku ini, Tuhan, memegang tangan kananmu”. Itulah yang menjadi kekuatan bagi saya saat itu. Sesampainya di Jogja saya mengatakan kepada orang tua bahwa saya sudah tidak lagi bekerja di Jakarta. Namanya juga rencana rahasia, orang tua hanya tahu kalau saya sekedar pindah tempat kerja.   Tidak lama setelah itu saya diterima kerja pada bagian administrasi di sebuah toko, sebelum akhirnya pindah di Universitas Sanata Dharma bagian personalia.

Di kampus saya bertemu dengan Sr Barbara fcJ, asal Australia,  seorang dosen di Universitas Sanata Dharma. Ia harus mengurus ijin kerja secara berkala di personalia. Disinilah perkenalan awalku dengan FCJ.  Sewaktu mengurus ijin kerja, Sr. Barbara seringkali ditemani oleh Sr. Agnes Samosir fcJ. Sejak itu saya seringkali ngobrol dengan Sr. Agnes. Mulai timbul rasa ketertarikan dalam diri saya dengan Kongregasi ini. Awalnya saya hanya tertarik karena teryata ada suster yang tidak memakai  jubah. Saya ditawari untuk ikut rekoleksi perempuan muda yang mereka selenggarakan. Saya menerima  dan saya datang.  Itulah perkenalanku yang pertama dengan biara FCJ.

Setelah rutin mengikuti rekoleksi keinginan untuk menjadi suster muncul lagi. Bahkan lebih spesifik yaitu menjadi Suster Kongregasi FCJ. Akan tetapi saya tidak begitu yakin dengan keinginan itu karena pada saat bersamaan saya juga berpikir mengenai panggilan hidup sebagai awam.

Pada tahun 1996 saya menyampaikan kebimbangan akan hidup panggilan kepada Sr. Agnes. Ternyata ada beberapa orang muda yang seperasaan dengan saya.   Kemudian , Sr. Agnes mengumpulkan kami (empat pria dan enam perempuan) menjadi satu kelompok sharing dan diberi nama kelompok “Fiat”. Di antara anggota Fiat terdapat dua rekan yang juga masuk FCJ yaitu Sr. Beta dan Sr. Sisca.

Setelah berjalan satu tahun, kelompok ini ditutup dengan retret selama empat malam dalam pekan suci tahun 1997, bertempat di Wisma PTPM dan dibimbing oleh Romo Heezlar SJ.  Saat retret berakhir saya menemukan panggilan hidup saya sebagai awam selibat. Saya meyakini dan merasa tenang. Namun Sr. Agnes mengusik saya dengan pertanyaan berikut,” Yustin, pilihan hidup mana yang membuat kamu lebih berkembang? Menurutmu apakah pilihan hidup sebagai selibat awam itu akan membuatmu lebih berkembang?”  Ia mengingatkan saya akan sebuah mimpi yang pernah saya ceritakan. Di dalam mimpi itu saya berkunjung ke Susteran FCJ di Soropadan. Di sana saya bersama dengan Suster Barbara, Agnes dan Afra asyik memanen kacang. Hatiku gembira karena kacang yang dipanen hasilnya sangat banyak dan bagus. Lalu Sr. Agnes bertanya kepada saya,” Apakah kamu mengingat mimpimu memanen kacang di sini?” Pertanyaan itu sangat mengganggu saya karena saat itu saya sudah yakin atas pilihan hidup saya. Hal ini mendorong saya untuk mempertimbangkan lagi pilihan panggilan hidup.

Akhirnya pada tahun 1997, saya bergabung dengan kelompok d’Houet, kelompok perempuan yang tertarik untuk menjadi suster fcJ.  Pada tahun 1998 Suster Marion fcJ bertanya ”Yustin, apakah kamu siap untuk masuk tahun ini?” Saya tersentak mendengar pertanyaan itu namun setelah menimbang-nimbang lagi saya merasa yakin menjadi biarawati bukan panggilan saya.  Lagi pula saya sedang tertarik dengan seorang pria dan ada keinginan di dalam diri saya untuk menikah.

Pacarku seorang pria dari Timor, PNS, yang sedang tugas studi di Yogya. Hubungan kami serius. Setahun berlalu, tibalah saat kami harus memutuskan rencana ke depan. Konsekuensinya adalah jika saya menikah dengannya maka saya harus mengikutinya pulang ke Timor.  Saya harus meninggalkan Jogja, tentu saja berarti saya harus meninggalkan pekerjaan yang sudah mapan, orang tua dan kenyamanan yang selama ini saya rasakan. Sangat berat bagi saya saat menimbang semua ini. Pada akhirnya saya memutuskan untuk tetap tinggal di Jogja. Maka berakhirlah hubungan kami.

Tahun 2002, Sr. Beta FCJ akan mengucapkan kaulnya yang pertama. Ia meminta alumni dari kelompok Fiat untuk mengisi koor pada saat upacara kaulnya. Beberapa anggota kelompok Fiat sudah terpencar, ada yang sudah menikah, bekerja di luar kota dan hanya tersisa tujuh orang.  Begitu misa akan mulai dan kami menyanyikan lagu pembuka yang berjudul “Panggilanku”, hati saya merasa sesak. Saya tersentuh. Pikiran untuk masuk menjadi suster fcJ menerjang kembali dengan sangat kuat. Saya tidak bisa bernyanyi. Suara saya hanya tertahan di tenggorokan dan enggan untuk keluar.   Saya menangis….. Hanya menangis… Saya marah…. benar – benar marah Kepada Tuhan.  ”Mengapa keinginan ini datang lagi?”

Keinginan ini muncul sekali lagi dengan begitu kuat dan sangat menggelisahkan bagi saya.  Saya memutuskan untuk retret di Girisonta awal pekan suci 2002.  Ketika saya mengkontemplasikan bahan doa mengenai peristiwa Yesus memanggil Zakheus, saya merasa Tuhan memanggil saya. Tanggapan saya adalah secara langsung menolak panggilan tersebut.  Saya menolak dengan sangat kuat dan berulang – ulang. Saya merasa tubuh saya sangat tegang, tangan saya mengepal kuat sebagai tanda penolakan. Hingga pada akhirnya saya merasa sangat lelah.

Saat saya merasa lelah, yang saya lakukan adalah pasrah. Berangsur saya merasa tenang dan hening. Di dalam ketenangan yang luar biasa, terdengar suara dari dalam lubuk hati saya, sangat kecil, halus, namun jelas semakin keluar menuju mulut saya. Suara yang pada akhirnya saya sanggup untuk mengucapkanya,” Ya, saya mau”.   Yesus telah menangkap saya.

Setelah bertahun – tahun berkelit dari kejaranNya, akhirnya saya menyerah dan ditangkap.   Saya mengikrarkan kaul pertama tahun 2005 dan kaul kekal tahun 2012. Saat ini saya bertugas di Ende.

Dikisahkan oleh Suster Yustin FCJ

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2016 © InEvent. All rights reserved. Made withby InwaveThemes